Komisi VI & Pemerintah Sepakati Pembahasan RUU BUMN, Menuju Pengesahan Paripurna
Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Erma Rini saat memimpin Rapat Kerja Tingkat I Komisi VI DPR RI dengan pemerintah di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Sabtu (1/2/2025). Foto : Farhan/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta - Komisi VI DPR RI bersama pemerintah secara resmi menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kesepakatan ini membuka jalan bagi transformasi besar dalam pengelolaan BUMN agar lebih adaptif, profesional, dan mampu bersaing di tingkat global.
Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Erma Rini, menegaskan bahwa revisi UU BUMN merupakan langkah mendesak di tengah dinamika ekonomi global dan tantangan bisnis yang semakin kompleks. Ia mengapresiasi seluruh pihak yang telah mendukung upaya transformasi BUMN.
"Dengan perubahan ini, kita ingin memastikan bahwa BUMN tetap menjadi pilar ekonomi nasional yang kuat, tetapi juga lebih fleksibel dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman," ujar Anggia saat memimpin Rapat Kerja Tingkat I Komisi VI DPR RI dengan pemerintah di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Sabtu (1/2/2025).
Salah satu poin utama dalam RUU BUMN adalah pengaturan privatisasi perusahaan negara. Dalam draf yang telah disepakati, terdapat mekanisme baru yang lebih ketat untuk menentukan BUMN mana yang dapat diprivatisasi dan bagaimana prosesnya harus tetap menjamin kepentingan nasional.
Di sisi lain, BUMN didorong untuk lebih mandiri dan efisien. Namun, Anggia mengingatkan bahwa jika privatisasi tidak dikendalikan dengan baik, dapat mengurangi peran strategis negara dalam perekonomian. Oleh karena itu, RUU BUMN diharapkan dapat mengatur dan menekan potensi tersebut.
"Kita perlu keseimbangan antara kepentingan bisnis dan kepentingan publik. BUMN harus kompetitif, tetapi tetap memiliki misi untuk kesejahteraan rakyat," katanya.
Selain privatisasi, perubahan strategis lainnya dalam revisi UU BUMN mencakup penguatan tata kelola perusahaan melalui business judgment rule, yang memberikan perlindungan hukum bagi direksi dalam pengambilan keputusan bisnis berbasis tata kelola yang baik. RUU ini juga mengatur penguatan Satuan Pengawasan Internal dan Komite Audit agar lebih efektif dalam mengawal kinerja perusahaan.
Selain itu, terdapat kebijakan afirmatif yang mendorong keterlibatan penyandang disabilitas dan perempuan dalam posisi strategis di BUMN.
Dengan disepakatinya RUU BUMN, regulasi ini selanjutnya akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk pengambilan keputusan dalam Pembicaraan Tingkat II. Jika disahkan, perubahan ini akan menjadi landasan hukum baru bagi pengelolaan BUMN ke depan.
Anggia menegaskan bahwa RUU BUMN merupakan tonggak baru dalam reformasi BUMN agar perusahaan negara tidak lagi dikelola dengan pendekatan lama. Transformasi dan inovasi, menurutnya, menjadi kunci agar BUMN tetap relevan dan mampu bersaing di era globalisasi.
"Kita ingin BUMN menjadi lebih lincah, profesional, dan tetap berpihak pada kepentingan nasional. Ini bukan sekadar revisi regulasi, tetapi reformasi besar dalam cara kita mengelola aset negara," tutupnya.
Sebagai informasi, RUU BUMN berawal dari usulan DPR RI periode 2019–2024 yang mendapat tanggapan resmi dari pemerintah melalui Surat Presiden Nomor R-64/Pres/11/2024. Surat tersebut menugaskan perwakilan pemerintah untuk membahasnya bersama DPR RI.
Menindaklanjuti penugasan tersebut, sepanjang Januari 2025, Komisi VI DPR RI telah menggelar berbagai rapat kerja dengan Menteri BUMN, Menteri Hukum dan HAM, Wakil Menteri Sekretaris Negara, serta Wakil Menteri Keuangan. Komisi VI juga mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan akademisi dan pakar guna memperoleh masukan yang konstruktif.
Setelah melalui pembahasan di Rapat Panitia Kerja (Panja), Tim Perumus (Timus), dan Tim Sinkronisasi (Timsin), seluruh fraksi di DPR RI menyampaikan pendapat akhir mini fraksi, sementara pihak pemerintah menyatakan persetujuannya. Naskah RUU BUMN kemudian ditandatangani oleh Pimpinan Komisi VI DPR RI bersama pemerintah sebagai bukti kesepakatan sebelum diajukan ke Rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang. (um/aha)